Minggu, 06 November 2011

Sapi yang Menangis

Cerita ini dikutip dari buku Membuka Pintu Hati berdasarkan pengalaman Y.M. Ajahn Brahm ketika beliau memimpin kelas meditasi di sebuah penjara. Beliau merupakan seorang bhikkhu yang berasal dari Barat, namun terlatih dalam tradisi hutan Thai.

Saya (Y.M Ajahn Brahm) tiba lebih awal untuk memimpin kelas meditasi di sebuah penjara dengan pengamanan minim. Seorang narapidana yang tak pernah saya jumpai sebelumnya, telah menunggu untuk berbicara dengan saya. Dia seorang manusia sebesar raksasa dengan rambut seperti semak belukar, berjanggut, dengan lengan-lengan penuh tato; bekas luka di wajahnya memberitahukan saya bahwa dia telah mengalami banyak perkelahian sadis. Dia terlihat begitu menakutkan sampai-sampai saya heran kenapa dia datang untuk belajar meditasi. Dia bukan jenis orang yang belajar meditasi. Tentu saja saya salah.
Dia berkata kepada saya bahwa belum lama ini terjadi sesuatu yang telah menghantui pikirannya. Saat dia mulai berbicara, saya menangkap kesan Ulster-nya yang kental. Untuk memberikan gambaran latar belakang, dia bercerita bahwa dia tumbuh besar di jalanan Belfast yang penuh kekerasan. Kasus penikamannya yang pertama terjadi pada saat dia baru berumur tujuh tahun. Seorang berandal di sekolah meminta uang bekal makan siangnya. Dia bilang tidak. Si anak yang lebih tua itu lalu menghunus sebilah pisau panjang dan untuk kedua kalinya meminta uang. Dia kira itu cuma gertak sambal saja. Sekali lagi dia bilang tidak. Si penggertak tak pernah meminta untuk ketiga kalinya, dia langsung menikamkan pisaunya ke lengan si anak tujuh tahun, mencabutnya dan langsung kabur.

Dia bercerita bahwa dalam keterkejutan dia berlari pulang dari halaman sekolah, dengan darah mengucur dari lengannya, menuju rumah ayahnya yang tak jauh dari situ. Ayahnya yang pengangguran melihat sekilas pada lukanya lalu membawanya ke dapur, tetapi bukan untuk membalut lukanya. Sang ayah membuka laci dapur, mengambil sebuah pisau dapur yang besar, memberikannya kepada putranya, dan menyuruhnya kembali ke sekolah untuk membalas menikam si penggertak. Begitulah dia dibesarkan. Jika dia tidak tumbuh demikian besar dan kuat, pastilah dia sudah lama tewas.

Penjara itu memiliki peternakan di dalamnya, di mana para napi dengan masa hukuman pendek atau napi yang tak lama akan dibebaskan, dapat bersiap menghadapi kehidupan bebas di antaranya dengan belajar mengenai perdagangan dalam industri peternakan. Lebih lanjut, penjara ini memasok produk-produk makanan murah ke seluruh penjara di Perth, sehingga dapat menekan biaya. Peternakan Australia mengembangbiakan sapi, domba, dan babi, tidak hanya gandum dan sayur mayur; begitu pula dengan penjara yang satu ini. Namun tidak seperti peternakan lainnya, penjara ini mempunyai rumah jagalnya sendiri; langsung di tempat.

Setiap napi wajib punya pekerjaan di penjara ini. Saya mendapat informasi dari beberapa penghuni penjara bahwa pekerjaan sampingan yang paling banyak dicari adalah pekerjaan di rumah jagal. Pekerjaan ini terutama populer di kalangan para pelanggar kekerasan. Dan pekerjaan yang paling disukai, bahkan Anda harus bertarung mendapatkannya, adalah pekerjaan sebagai penjagal itu sendiri. Si raksasa Irlandia yang menakutkan itu adalah seorang penjagal.

Dia menggambarkan keadaan rumah penjagalan itu kepada saya. Pintu berjeruji dari baja antikarat yang super-kuat, lebar pada pembukaannya, turun menyempit ke sebuah lorong tunggal di dalam gedung, yang lebarnya hanya pas untuk satu ekor hewan pada satu saat. Di ujung lorong sempit itu, di atas sebuah landasan, dia kanan berdiri sambil memegang sebuah senapan listrik. Sapi, babi, atau domba akan dipaksa masuk ke lorong antikarat tersebut dengan menggunakan anjing-anjing dan cambuk. Dia berkata bahwa hewan-hewan itu akan selalu menjerit-jerit, dengan caranya masing-masing, mencoba untuk melarikan diri. Hewan-hewan itu dapat mencium bau kematian, mendengar suara kematian, merasakan kehadiran maut. Saat seekor hewan telah berada di sepanjang landasan, dia akan menggeliat, meronta, dan mengeluh dengan suara keras. Meskipun senapan listriknya mampu mematikan seekor banteng besar dengan sekali sengatan tegangan tinggi, tetapi hewan-hewan itu tak pernah berdiam cukup lama sampai dia dapat membidik dengan baik. Jadi ada sekali tembakan untuk membuat hewan itu terdiam, dan tembakan berikutnya untuk mematikannya. Satu tembakan untuk mendiamkan, tembakan berikut untuk mematikan. Hewan demi hewan. Hari demi hari. Orang Irlandia ini selalu merasa bergairah setiap kali mengalami kejadian itu, sampai beberapa hari belakangan ini, saat sesuatu yang sangat merisaukannya terjadi. Dia mulai menyumpah. Selanjutnya, dia terus mengulang, "Demi Tuhan, ini sungguhan!" Dia khawatir kalau saya tidak mempercayainya.

Pada hari itu mereka membutuhkan daging sapi untuk penjara-penjara di sekitar Perth. Mereka tengah menjagal sapi. Satu tembakan untuk mendiamkan, tembakan berikut untuk membunuh. Dia menjalani hari-hari pembantaian seperti biasanya, sampai seekor sapi datang mendekat, dia belum pernah melihat ini sebelumnya. Sapi yang ini tenang. Bahkan tak terdengar suara lenguhan. Kepalanya menunduk ketika dia berjalan dengan penuh sengaja, dengan sukarela, perlahan-lahan menuju tempat di ujung landasan. Dia tak menggeliat, meronta, atau mencoba kabur. Begitu berada di posisinya, sapi itu mengangkat kepalanya dan memandang penjagalnya, dalam diam mencekam.

Belum pernah si Irlandia ini melihat hal-hal semacam ini sebelumnya. Pikirannya menjadi mati-rasa oleh kebingungan. Dia tak mampu mengangkat senapannya; pun tak mampu melepas tatapan matanya dari mata sapi itu. Sapi tersebut melihat tepat ke dalam dirinya. Dia tergelincir ke dalam ruang tanpa waktu. Dia tak dapat memberitahu saya berapa lama kejadian itu berlangsung, tetapi tatkala sapi itu membekukannya melalui kontak mata, dia memperhatikan sesuatu yang bahkan lebih menohoknya. Sapi memiliki mata yang sangat besar. Dia melihat pada mata kiri sapi itu, di atas kelopak bawahnya, air mulai merambang. Gumpalan air mata itu makin bertambah terus, sampai kelopak matanya tak dapat menampungnya lagi, air itu mulai menetes jatuh menyusuri pipinya, membentuk sungai air mata yang berkilauan tertimpa cahaya. Pintu relung hatinya mulai terbuka perlahan-lahan. Dalam ketidakpercayaan, dia melihat mata kanan sapi itu, di atas kelopak bawahnya, terkumpul lebih banyak air mata, yang terus berkumpul, melampaui daya tampung kelopaknya. Sebuah sungai air mata kedua menyusuri wajah sapi itu. Dan si besar Irlandia itu pun terkulai. Sapi itu menangis.

Dia bercerita kepada saya bahwa dia membuang senapannya, bersumpah bahwa petugas penjara boleh melakukan apa saja atas dirinya sejauh batas kemampuannya, ASALKAN SAPI ITU JANGAN DIBUNUH!

Dia mengakhiri kisahnya dengan memberi tahu saya bahwa dia sekarang menjadi seorang vegetarian (sayuranis).

Ini kisah nyata. Para penghuni lain di penjara itu mengkonfirmasikan kebenarannya kepada saya. Seekor sapi yang menangis telah mengajarkan seorang pria yang paling kejam arti kepedulian.

Gambar : http://iaamspot.blogspot.com
Sumber : Buku Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya

0 komentar:

Posting Komentar


 
;